Rabu, 10 April 2013
Selasa, 09 April 2013
Sebagai seorang muslim kita harus
berhati-hati menghadapi fenomena ini. Keterbukaan informasi dan cepatnya
berita tersebar dalam satu sisi adalah kebaikan, namun di sisi lain dia
adalah mata pisau tajam yang mengancam. Karena tuntutan real time,
sering kali menjadikan para informan dan juga kita tergesa-gesa dalam
menyampaikan berita sehingga kita tidak memberikan waktu yang cukup
untuk menggali fakta yang sebenarnya dan mencari tahu lebih lanjut duduk
perkaranya. Sungguh hal ini bukanlah permasalahan yang sepele. Kondisi
ini adalah bencana yang sangat besar, karena kesempatan kita untuk dapat
meraih surgalah yang dipertaruhkan.
“Sesungguhnya seorang hamba yang
mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya
akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari
jarak timur dengan barat” (HR. Bukhari, Muslim)
Kebermanfaatan perkataan yang terucap dari
lisan kita (dimana tulisan juga tercakup dalam makna ini) menjadi tolak
ukur keselamatan kita di akhirat nanti. Tapi tentu saja, kebermanfaatan
ini tidak bisa diukur dengan parameter kepentingan dan keuntungan
pribadi/kelompok tetapi parameternya adalah kepentingan umat dan
masyarakat secara luas. Dari hadist itu bisa disimpulkan bahwa kebenaran
perkataan tidak menjadi satu-satunya ‘rukun’ untuk melegalisasi suatu
perkataan itu pantas diucapkan dan disebarkan ke publik. Suatu fakta
yang akan memberikan dampak negatif maka lebih baik tetap disimpan. Lah
apalagi jika sesuatu itu masih berupa dugaan/prasangka, maka para
pewarta harus jauh lebih berhati-hati dalam memilih kalimat penyampaian
agar hal yang berupa praduga tadi tidak dianggap sebagai fakta oleh para
pembacanya. Sehingga fenomena lanjutan yang ditimbulkan adalah maraknya
ghibah, fitnah, caci maki, adu domba, dan perkataan dusta, yang ancaman
azabnya jauh lebih berat lagi.
“Sekiranya tidak ada karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu
ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong
itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal
dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur: 14-15)
Ayat tersebut turun berkaitan dengan haditsul ifky
yang menimpa Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ayat tersebut sangatlah penting
untuk kita pegang kuat-kuat pada zaman kita ini, di mana kebebasan
mengemukakan pikiran dan pendapat telah lazim digunakan secara
menyimpang oleh banyak kaum muslimin, dengan meninggalkan adab dan
akhlaq yang telah diatur oleh Allah melalui Rasul-Nya. Banyak sekali
ayat maupun hadist selain ayat di atas yang mewanti-wanti agar kita
berhati-hati terhadap perkataan kita karena kedahsyatan bahayanya.
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al-Ahzab : 58)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu
yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Israa : 36)
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada
tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian
bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya
serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah
kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila
wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak
berfaedah), serta menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim)
Lalu amal apa yang dapat menjadi obat bagi
penyakit ini? Salah satu obat termanjurnya adalah dengan diam. Diam
merupakan anak tangga penyelamat menuju surga dan ridha-Nya. Sebagaimana
hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam penjelasan tentang hadist tiga
perkara yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, Imam Nawawi berkomentar,
“Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah apabila
seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika
diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia
berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa
mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya
dia tidak usah berbicara”.
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian
yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian,
niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Diam adalah tradisi para ulama shalafush
shalih. Karena dengan diam dapat lebih menjaga kebeningan hati dan
menunjukkan kedalaman ilmu. Kita pasti sudah sangat familiar dengan
istilah ‘tawaquf’ dalam khasanah keilmuan islam. Ada tawaquf dalam
penentuan jarh wa ta’dil periwayat hadist, ada tawaquf dalam ta’arud al
adillah suatu nash atau hadist, dan masih banyak tawaquf-tawaquf di
bidang-bidang keilmuan yang lain. Hal itu dilakukan karena dengan
tawaquf (membiarkan, berhenti, menunda) maka akan lebih membawa
keselamatan. Karena ilmu tidak bisa didapat dengan praduga. Ilmu harus
dengan pembuktian dan dalil yang kuat. Begitu pula dengan berpendapat.
Lebih baik kita diam, dari pada mengatakan sesuatu yang tidak membawa
kebaikan apalagi jika perkataan kita hanya berdasarkan pada pendapat
pribadi yang jauh dari sifat kehati-hatian dan keadilan dalam melakukan
penilaian.
Jika ada suatu konten berita yang
menimbulkan pro-kontra apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nama baik
seseorang, maka jangan cepat berkomentar. Pikirkan dulu matang-matang,
apakah Anda benar-benar tahu duduk perkaranya? Apakah komentar Anda akan
berdampak baik bagi umat? Apakah Anda mengenal dengan baik oknum yang
diberitakan? Jika yang akan Anda katakan hanya berdasar pendapat pribadi
yang jauh dari kebenaran, maka lebih baik diamlah karena dalam diam
itulah terletak surga. Hal ini berlaku untuk siapa saja, baik oknum yang
diberitakan itu kawan maupun lawan Anda. Jika dia kawan maka jangan
semerta-merta membela dengan membabi buta. Jika dia lawan jangan juga
langsung menghakimi dan menghujat tanpa adab. Bersikap adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan diamlah, karena pada kondisi
tanpa pengetahuan diam lebih dekat pada keadilan.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)
Allahu a’lam bish-shawwab.
Langganan:
Postingan (Atom)