Minggu, 30 Juni 2013

Perjuangan meninggikan Kalimatullah

Abu Nu'aim telah memberitakan dari Jubair bin Nufair dari ayahnya, katanya: Ketika sedang kami duduk-duduk dengan Al-Miqdad bin Al-Aswad r.a. pada suatu hari, tiba-tiba datang kepadanya seorang lelaki, lalu berkata: Beruntunglah kedua belah mata yang telah melihat Rasulullah SAW. Demi Allah, kami sungguh bercita-cita jika dapat melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan, engkau telah mendengar, lalu engkau merasa kagum dari kebaikan yang dikatakan kepadamu!

Mendengar itu, Al-Miqdad bin Al-Aswad pun menghadapinya seraya berkata: Mengapa sampai ada seseorang di antara kamu yang bercita-cita untuk berada dalam sesuatu zaman yang telah dilewatkan oleh Allah azzawajalla, padahal dia sendiri masih tidak yakin apa yang terjadi ke atas dirinya sekiranya dia hadir pada zaman itu! Demi Allah, telah hadir di zaman Rasulullah SAW itu beberapa kaum, yang akan ditelungkupkan muka mereka menghujam neraka jahannam, karena mereka tidak menyambut seruannya dan tidak mempercayainya sama sekali. Bukan sebaiknya kamu bersyukur kepada Allah, karena Dia tiada melahirkan kamu, melainkan kamu telah mengenal Tuhan kamu serta mempercayai apa yang dibawa oleh Nabi kamu 'alaihis-salam, sedang kamu terhindar dari azab yang ditimpakan ke atas selain kamu itu? Demi Allah, sungguh Nabi SAW telah dibangkitkan pada suatu zaman yang sangat berat yang pernah dibangkitkan dari para Nabi yang sebelumnya. Beliau dibangkitkan pada masa yang penuh kerusakan dan jahiliah, yang mana manusia memandang agama itu tiada yang lebih baik dari menyembah berhala sebagai tuhan. Lalu beliau didatangkan membawa Al-Quran yang membedakan antara yang hak dengan yang batil, memisahkan antara ayah dan anaknya, sehingga ada orang yang mendapati ayahnya, atau anaknya, atau saudaranya sendiri kafir, sedang Allah telah membuka kunci hatinya untuk menampung iman, dan dia mengetahui akan binasalah siapa yang memasuki api neraka itu, sehingga tidak betah lagi pemikirannya karena dia mengetahui bahwa ada orang yang paling dekat kekerabatnya berada di dalam api neraka! Dan hal itu tepat sekali dengan apa yang disebutkan Allah azzawajalla 'Tuhan kami! jadikanlah anak isteri kami penyelamat bagi kami!'
(Hilyatul Auliya' 1:175)

Ibnu Ishak memberitakan dari Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi, katanya:pernah suatu kali telah datang seorang dari penduduk Kufah, lalu berkata kepada Huzaifah bin Al-Yaman ra.: 'Hai Abu Abdullah!' kata orang ahli Kufah itu. 'Apakah engkau telah melihat Rasulullah dan bersahabat dengannya?' 'Ya, wahai saudaraku! ' jawab Huzaifah. 'Apakah yang sudah kamu lakukan terhadap beliau, coba ceritakan!' pinta orang dari Kufah itu. 'Kami lakukan apa yang semampu kami saja,'jawab Huzaifah.
'Demi Allah,'kata orang itu,'jika kita yang menemuinya pada zaman itu, niscaya kami tidak membiarkannya berjalan di atas bumi sama sekali, niscaya kami memikulnya di atas punggung kami!'
'Apa katamu, wahai saudaraku?!'tanya Huzaifah.'Demi Allah, aku masih ingat ketika hari menggali parit (Khandak) itu, aku dapati betapa susah-payahnya Rasulullah menanggung lapar dan dahaga, menanggung udara yang dingin dan merasa takut sekali!'

Dalam riwayat Muslim, maka berkata Huzaifah: "Engkau mengatakan yang engkau akan berbuat begitu kepada Rasulullah SAW? Aku pernah menyaksikan mereka bersama Rasulullah SAW pada malam perang Ahzab, pada suatu malam yang berangin sangat kencang dengan udaranya yang sangat dingin, betapa mereka menanggung semua itu. Kemudian Huzaifah melarang mereka mengatakan seperti itu terhadap para sahabat.
 

Selasa, 09 April 2013



Sebagai seorang muslim kita harus berhati-hati menghadapi fenomena ini. Keterbukaan informasi dan cepatnya berita tersebar dalam satu sisi adalah kebaikan, namun di sisi lain dia adalah mata pisau tajam yang mengancam. Karena tuntutan real time, sering kali menjadikan para informan dan juga kita tergesa-gesa dalam menyampaikan berita sehingga kita tidak memberikan waktu yang cukup untuk menggali fakta yang sebenarnya dan mencari tahu lebih lanjut duduk perkaranya. Sungguh hal ini bukanlah permasalahan yang sepele. Kondisi ini adalah bencana yang sangat besar, karena kesempatan kita untuk dapat meraih surgalah yang dipertaruhkan.
Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” (HR. Bukhari, Muslim)
Kebermanfaatan perkataan yang terucap dari lisan kita (dimana tulisan juga tercakup dalam makna ini) menjadi tolak ukur keselamatan kita di akhirat nanti. Tapi tentu saja, kebermanfaatan ini tidak bisa diukur dengan parameter kepentingan dan keuntungan pribadi/kelompok tetapi parameternya adalah kepentingan umat dan masyarakat secara luas. Dari hadist itu bisa disimpulkan bahwa kebenaran perkataan tidak menjadi satu-satunya ‘rukun’ untuk melegalisasi suatu perkataan itu pantas diucapkan dan disebarkan ke publik. Suatu fakta yang akan memberikan dampak negatif maka lebih baik tetap disimpan. Lah apalagi jika sesuatu itu masih berupa dugaan/prasangka, maka para pewarta harus jauh lebih berhati-hati dalam memilih kalimat penyampaian agar hal yang berupa praduga tadi tidak dianggap sebagai fakta oleh para pembacanya. Sehingga fenomena lanjutan yang ditimbulkan adalah maraknya ghibah, fitnah, caci maki, adu domba, dan perkataan dusta, yang ancaman azabnya jauh lebih berat lagi.
“Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.  Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur: 14-15)
Ayat tersebut turun berkaitan dengan haditsul ifky yang menimpa Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ayat tersebut sangatlah penting untuk kita pegang kuat-kuat pada zaman kita ini, di mana kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat telah lazim digunakan secara menyimpang oleh banyak kaum muslimin, dengan meninggalkan adab dan akhlaq yang telah diatur oleh Allah melalui Rasul-Nya. Banyak sekali ayat maupun hadist selain ayat di atas yang mewanti-wanti agar kita berhati-hati terhadap perkataan kita karena kedahsyatan bahayanya.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al-Ahzab : 58)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Israa : 36)
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah), serta menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim)
Lalu amal apa yang dapat menjadi obat bagi penyakit ini? Salah satu obat termanjurnya adalah dengan diam. Diam merupakan anak tangga penyelamat menuju surga dan ridha-Nya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam penjelasan tentang hadist tiga perkara yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, Imam Nawawi berkomentar, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”.
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.
Diam adalah tradisi para ulama shalafush shalih. Karena dengan diam dapat lebih menjaga kebeningan hati dan menunjukkan kedalaman ilmu. Kita pasti sudah sangat familiar dengan istilah ‘tawaquf’ dalam khasanah keilmuan islam.  Ada tawaquf dalam penentuan jarh wa ta’dil periwayat hadist, ada tawaquf dalam ta’arud al adillah suatu nash atau hadist, dan masih banyak tawaquf-tawaquf di bidang-bidang keilmuan yang lain. Hal itu dilakukan karena dengan tawaquf (membiarkan, berhenti, menunda) maka akan lebih membawa keselamatan. Karena ilmu tidak bisa didapat dengan praduga. Ilmu harus dengan pembuktian dan dalil yang kuat. Begitu pula dengan berpendapat. Lebih baik kita diam, dari pada mengatakan sesuatu yang tidak membawa kebaikan apalagi jika perkataan kita hanya berdasarkan pada pendapat pribadi yang jauh dari sifat kehati-hatian dan keadilan dalam melakukan penilaian.
Jika ada suatu konten berita yang menimbulkan pro-kontra apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nama baik seseorang, maka jangan cepat berkomentar. Pikirkan dulu matang-matang, apakah Anda benar-benar tahu duduk perkaranya? Apakah komentar Anda akan berdampak baik bagi umat? Apakah Anda mengenal dengan baik oknum yang diberitakan? Jika yang akan Anda katakan hanya berdasar pendapat pribadi yang jauh dari kebenaran, maka lebih baik diamlah karena dalam diam itulah terletak surga. Hal ini berlaku untuk siapa saja, baik oknum yang diberitakan itu kawan maupun lawan Anda. Jika dia kawan maka jangan semerta-merta membela dengan membabi buta. Jika dia lawan jangan juga langsung menghakimi dan menghujat tanpa adab. Bersikap adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan diamlah, karena pada kondisi tanpa pengetahuan diam lebih dekat pada keadilan.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)
Allahu a’lam bish-shawwab.

Minggu, 13 Mei 2012

MAKSIAT YANG MENYEBABKAN RACUN BAGI HATI

"Ketahuilah bahwa semua maksiat dalam bentuk apapun adalah racun bagi hati,penyebab sakitnya hati bahkan juga penyebab matinya hati.Meninggalkan dosa maksiat dapat menyebabkan hidupnya hati dan sebaik-baiknya jiwa adalah yang mampu meniadakan perbuatan dosa bagi dirinya.Maka barang siapa yang menginginkan hatinya menjadi hati yang selamat hendaklah membersihkan dirinya dari racun-racun hati kemudian dengan menjaganya tatkala ada racun hati yang berusaha menghampirinya.Dan apabila terkena sedikit  bersegeralah untuk menghilangkannya dengan taubat dan istigfar.Racun-racun hati  itu banyak macamnya diantaranya  adalah berlebih-lebihan bicara ata fudhululkalam.Dikatakan bahwa belumlah bisa istiqhama iman seseorang sebelum istighama lisannya.Oleh karena  itulah islam mengajarkan kepaada umatnya agar tidak banyak bicara tanpa disertai dzikir kepada Allah swt karena akan mengakibatkan kerasnya hati."